Minggu, 19 Maret 2017

Defisit Air Tawar Pada Pulau Derawan Yang Disebabkan Oleh Adanya Konsumsi Air Tawar Yang Berlebihan
Disusun Oleh : Bagus Erik Prabowo
08151006
 Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Kalimantan 2017

Definisi dari pulau kecil dapat dilihat dari bentuk dan ukuranya, sementara ciri umum yang dapat dikenali yang terpenting adalah terpisahnya ekosistem dan sumber dayanya dari pulau utama serta pulau lainya. Dalam beberapa hal, tidak sepenuhnya ekosistemnya terpisah bila yang dimaksud adalah lingkungan lautnya, terlebih bila dasar perairannya sama (Sardjono et al, 2007). Pulau kecil terbentuk ketika dasar dari perairan mengalami pengangkatan dan muncul keatas permukaan dan berada didekat dengan muka laut dan ditempati biota serta terumbu, dan selanjutnya tumbuh membentuk rataan dan ekosistem pulau. Dalam hal ekosistim daratnya, yang menjadi batas fisik adalah air laut yang mengelilingi pulau, menjadikan sistim air tawar yang ada dipulau tidak mempunyai hubungan terbuka dengan daratan utama. Jumlah dan keberadaan air tawar di pulau kecil berada pada keterbatasan yang tergantung oleh banyak hal, antara lain kondisi geologi, bentuk ukuran pulau, kondisi perairan, serta hujan, dan faktor lainya seperti delta (Sardjono et al., 2007)
Delta dan pulau terumbu karang adalah jenis - jenis pulau yang belum lama terbentuk Pembentukan pulau – pulau tersebut erat kaitanya dengan gerak tektonik dan perubahan muka laut yang memberi kendali pada neraca pengendapan sedimen dan pertumbuhan terumbu karang pembentuk pulau. Pulau – pulau kecil di Indonesia terbentuk dari proses geologi yang bermacam sejak jutaan tahun silam yang dikarenakan adanya lempeng samudera dan jalur aktif tektonik. Seperti halnya Pulau derawan terbentuk sebagai pulau terumbu karang karena adanya proses geologi yang berasal dari evolusi sub cekungan Berau, yang sebagian dari cekungan Kutai dan berasal dari adanya proses tektonik tarikan pada zaman es yang menyebabkan blok Kutai membentuk cekungan baru (Katili,1978). Selain itu terbentuknya pulau derawan juga disebabkan oleh adanya aktivitas vulkanik gunung api Neogen di semenanjung pulau Sulawesi yang mengakibatkan adanya penebalan  sedimentasi dan lipatan – lipatan pada Pulau Derawan (Satyana et.al, 1999). Lalu adanya biota pada pulau Derawan diawali dengan oleh alga dan koloni moluska, kemudian kerangka dari moluska tersebut lama kelamaan melepas dan membentuk koloni koral pada perairan jernih, dan terbentuknya terumbu karang (Tomascik et al., 1997).
Kondisi hidrologi pada pulau Derawan berdasarkan Badan Geologi Indonesia pada tahun 2010 melakukan penelitian jika hidrologi dari pulau kecil seprti pulau Derawan dapat dikenali dalam beberapa jenis, pertama dapat dilihat dari sebaran bentuk dan sedimen aquifer tanah dangkal serta cara pengisiannya. Pada pulau terumbu karang aquifer tanah seperti pulau Derawan terbentuk dari sedimen pasir kasar karbonat yang menutup sisa kerangka koral, tersebar terutama menutup bagian yang mempunyai arah menghadap energi paling tinggi dengan adanya penimbunan  sedimen. Pengisian air tawar hanya berasal dari air meteorik. Keseimbangan untuk pulau menyimpan air tawar memerlukan waktu lama sehingga terbentuk cadangan air tawar yang umumnya berupa air tanah yang tersimpan pada lensa batuan koral. Lensa ini seolah mengapung di atas air asin, bergerak naik turun seiring ayunan pasang surut. Terdapatnya pohon dengan akar yang mampu melapukkan sedimen menjadi lebih halus, membantu menahan lebih baik air tawar tidak merembes mengalir ke laut maupun bercampur dengan air asin di dasar lapisan endapan penutup. Keberadaan air tawar di Pulau Derawan dimungkinkan oleh jenis batuan penyusun berupa endapan pasir karbonat remah terumbu karang. Lapisan pasir ini memiliki kesarangan yang memungkinkan air meteorik meresap. Sedimen ini memiliki ketebalan hingga 6,5 m, namun tidak merata di seluruh pulau. Hal ini dapat dilihat pada diagram hasil pemeruman tahanan jenis yang memberi gambaran tebalnya air tawar yang mengisi sedimen pasir ini.
Pada perkembanganya pulau Derawan kini berkembang dn dihuni oleh penduduk yang berasal dari suku bajo yang mengembara dan membuka hutan dibagian pulau yang beralaskan pasir putih tersebut lalu lama kelamaan berkembang dan menjadi permukiman dan menjadi peluang usaha dan aktivitas nelayan Untuk memperoleh lahan lebih luas dan akses mudah ke laut, rataan bakau dipangkas, pohon tanaman asli ditebang diganti tanaman kelapa dan pisang.  Daya tarik yang menyebabkan pesatnya pertambahan penduduk dari pendatang yang bergabung adalah melimpahnya biota laut, seperti penyu (Chelonia midas). Serta perairan kompleks terumbu karang menawarkan kelimpahan biota (ikan, moluska, holothuroidae, dll) yang tidak hanya menjadi menjadi tangkapan, namun bersama dengan ekosistem terumbu karang menawarkan daya tarik lain sebagai obyek wisata laut. Peningkatan kegiatan sektor wisata di kawasan ini segera diikuti peningkatan jumlah penduduk. Pondok wisata tumbuh dengan cepat dibangun sebagai rumah panggung di atas rataan terumbu. Pemakaian air tawar meningkat dan air tawar ini terbuang demikian saja ke laut setelah pemakaiannya. Saat ini air tawar keperluan rumah tangga dan wisata diambil langsung dari air tanah dangkal dengan cara pemompaa langsung. Jka hal ini dibiarkan secara terus menerus  maka akan mengakibatkan memicu terjadinya kekosongan pori yang kemudian diisi olehair asin yang menerobos masuk mengisi akifer dangkal. Gejala ini sudah teramati pada instalasi air tawar pada sumur penduduk yang berada didekat pantai pulau Derawan.
Menurut SNI tentang penyusunan neraca air 2012 kebutuhan penduduk akan air adalah tiap orang membutuhkan 60 Liter / tahun untuk keperluan mandi minum dan lain – lain. Dengan penduduk mencapai 9.947 jiwa konsumsi air pada pulau Derawan tiap tahunnya adalah 596820 Liter / tahun. Akan tetapi konsumsi akan air tawar tersebut akan bertambah karena angka tersebut belum termasuk konsumsi air wisatawan yang berkunjung ke pulau Derawan. Menurut Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Berau pulau Derawan setidaknya memerlukan pengisian total air tawar 60 juta liter agar dapat mengisi kekosongan pori – pori dari pulau karang. Sementara pengisian air tawar tersebut berasal dari curah hujan. Angka curah hujan tersebut dapat saja mengalami perubahan (ekstrem) berkurang hingga dibawah 1000 mm/tahun atau meningkat intensitasnya hingga memperbanyak air lebih yang tumpah keluar ke laut.  Lolosnya air tawar yang tumpah ke laut saat intensitas dan curah hujan tinggi diperkirakan mencapai dan menguap langsung serta melalui tumbuhan diperkirakan 20%, maka neraca air tanah tersisa 15,27 juta liter. Angka ini sangat rentan perubahannya ketika terancam oleh kurangnya pengisian air meteorik yang dapat melorot dibawah 1000 mm/tahun curah hujan, konsumsi yang meningkat hingga 50% dalam 10 tahun.
Bahaya yang dihadapi oleh pulau terumbu karang seperti pulau Derawan adalah adanya kenaikan muka laut serta ancaman abrasi dan penenggalaman pulau. Jika hal ini terjadi maka kerusakan bukan hanya pada fisik pulau, namun juga pada ekosistem perairan terumbu karangnya. Terumbu karang berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara erosi dan sedimentasi yang menjaga kelestarian pulau dan juga menjadi tempat tinggal biota laut. Untuk itu jika peningkatan jumlah kunjungan wisata yang tidak diiringi  dengan penataan pengelolaan air tawar dapat secara cepat menanmbah defisit air tawar. Pendekatan sosial kependudukan juga perlu dilakukan, dengan pemilihan isu tertentu yang paling tepat dikemukakan untuk memperbaiki anggapan dan perilaku cara pemakaian air yang menjadi lebih berwawasan lingkungan. Selain pengurangan konsumsi yang berlebihan, cara pemakaian sebaik mungkin air tawar dipulau juga perlu disosialisasikan kepada masyarakat

Daftar Pustaka
Sardjono, Soeprapto T.A 2007. Atlas Pengelompokan Pulau Kecil Berdasarkan Tektonogenesis Untuk Perencanaan tata Ruang Darat, Laut dan Dirgantara Nasional. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber daya Mineral.
Katili J.A.,1978. Past and present geotectonic of Sulawesi, Indonesia. Tectonophysics.
Satyana A.H., Nugroho D., Surantoko I., 1999. Tectonic controls on the hydrocarbon habitats of the Barito, Kutei and Tarakan Basins, Eastern Kalimantan, Indonesia: major dissimilarities in adjoining basins. Journal of Asian Earth Sciences.
Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. and Moosa, M.K. , 1997. The Ecology of Indonesian Seas, Part I. The Ecology of Indonesia Series, Volume VII. Periplus Editions, Singapore.